Empat Generasi Berbeda (4GB)
Empat Generasi Berbeda
Oleh: Iffa
Sarah Fatehah*
“Ayoo,
kalo kakak bisa ngalahin aku, bakal aku traktir makan bakso,” dengan semangat
45 rasa menantang mulai muncul. Raket andalanku, mampu melambungkan kok
setinggi 3 meter bergerak parabola.
“Hahaha,
oke siap, jangan lupa janjimu Gun!” tantang balik kakak cantik sebagai lawan
main badminton pagi ini.
Keasyikan
olahraga bersama memang sudah menjadi kebiasaan kami. Halaman depan rumah pun
terasa ramai walau hanya ada berdua yang menguasai wilayahnya. Diantara kami
berdua tak pernah mau saling mengalah satu sama lain, padahal jarak umur hampir
7 tahun. Tetap saja keluarga kecil dengan dua anak ini tidak sempurna tanpa
adanya manusia-manusia yang kratif seperti kami. Tapi kuakui aku ndableg dalam
pelajaran sekolah.
3
kali sekmen pertandingan bulutangkis telah terlalui, sampai bersisa kelelahan
dan kepuasan –yang puas hanya kakak-. Ternyata percaya diri di awal kadang tak
berarti baik di akhir cerita. Lelah, lelah, lelah. Ditambah harus menraktir
bakso, padahal niatnya sekedar ceplos bicara. Resiko oh resiko.
Memikmati
udara segar Ahad pagi adalah pilihan paling tepat. Libur sekolah, bersantai
ria, olahraga bersama kakak tercinta, istirahat, kemudian tidur. “Maka nikmat
mana lagi yang kau dustakan?” Inilah surga dunia.
Istirahat
di atas balai bambu yang disusun rapi, sharing dengan my sister.
“Hei
Gun, kau ingat kan janjimu di tengah perlawanan kita tadi! Kutagih nanti sore.
Jangan kabur kamu!” ancaman meluncur dengan mulus.
“Sip
kakak,” jawabku singkat. Diam sejenak, menghirup udara pagi.
“Kok
besok udah Senin lagi yaa, males sokolah, liburnya sebentar banget,” gumamku.
“Heh,
apanya yang sebentar? Libur Sabtu, Ahad masih kurang? Nyebur empang aja sana!”
hanya kubalas senyum meringis, “enak kamu libur 2 hari dalam seminggu, dulu
kakak sekolah ya sampai Sabtu, itupun libur Ahad masih ada tugas,” Lanjut
kakak.
“Yaudahlah
kak memang beda,”
“Iya
makanya, kurikulum kita beda, pada zaman kakak pakai KTSP jadi di sekolah lebih
banyak guru yang ceramah akhirnya murid kurang bisa mengeksplorasi diri. Tapi
setiap sekolah memiliki otonom sendiri dalam mengembangkan kurikulum.”
Esok
hari sudah tiba, berangkat sekolah. Apa sekolah itu tempat mayoritas anak-anak
di bawah 18 tahun ya? Berangkat pagi pulang sore, lelah jiwa dan raga ini.
Apalagi hari Senin mata pelajaran matematika jadwal pertama, kabur aja lah
ke kantin.
Karena
memang tidak terlalu niat belajar matematika, cabut saja mencari jajan.
Walaupun sudah sarapan, cacing-cacing perut selalu demo setiap kali mendengar
mata pelajaran pertama ini.
“Bang,
gorengannya ya Rp.2000,”
“Iyaa,
ambil aja!” respon abang tukang gorengan.
Duduk
di samping kantin sambil menikmati jajan pengganjal perut. Sepi, kenyang,
akhirnya ngantuk. Berangkatlah aku ke masjid sekolah untuk memanjakan mata dan pergi ke dunia mimpi.
Singkat
cerita ada seorang yang membangunkanku, dalam setengah kesadaran terlihat sosok
berbaju putih bersih, wajah dewasa dan berkacamata di hadapanku.
“Guntur,
Guntur bangun! Ini masih jam pelajaran, kamu seharusnya ada di dalam kelas,”
dengan kalem dan lembut aku dibangnkannya, “Guntur...” seperti dininabobokan
rasanya karena panggilan lembut ibu ini.
Tapi
kurasa waktunya membuka mata, cukup lama juga berkunjung ke dunia impian.
“Iyaa
bu.” ucapku lirih. Ternyata ibu Hayati, guru BK (Bimbingan Konseling) di
depanku. Sepertinya, guru tersabar ini selesai sholat dhuha di masjid lalu
melihatku di pojok masjid tergeletak nyaman.
“Kamu
anak kelas 8-3 ya Guntur?” tanyanya, “Iya bu.”
Dan
dugaanku, pasti akan dipanggil ke ruang BK setelah ini. Kembali ke kelas, lebih
baik. Sebenarnya malas, tapi tuntutan, berangkat saja.
Sampai
Selasa ketika bangun tidur, tidak ada panggilan atau surat keterangan dari ibu
Hayati, aku selamat.
“Bangun
tidur ku sholat shubuh, tidak lupa lanjut ke mandi, abis mandi sarapan pagi, lalu
langsung sekolah lagi.” Maafkan aku yang mengganti lirik lagumu, wahai pencipta
lagu “Bangun Tidur”.
Hari ini sekolah naik motor sendiri, karena
waktu terlalu mepet kalau harus nunggu yang mengantar. Dengan kecepatan
rata-rata 55 km/jam motor melaju di antara gang-gang kecil menuju sekolah. Fokus,
fofus sampai ke tempat tujuan, hiraukan sekitar. Dan ketika tepat di depan
gerbang SMP-ku, habis riwayat ini, gerbang sudah ditutup. Sudahlah pulang lagi,
lanjutkan tidur. Bersantai mengendarai motor automatic, perlahan tapi pasti.
Sampai rumah kuucapkan salam, langsung menuju
kasur setia di kamar, dia sudah menunggu pastinya.
4 jam
kemudian,
Suara-suara
ramai hadir dalam telinga. Bude (panggilan untuk kakak perempuan dari orangtua)
Atna datang, selalu membuat keributan yang mengganggu tidur. Akhirnya karena
tidak tahan terlalu bisingnya ruang tamu di depan kamar, aku keluar sambil
menutup mulut yang menguap lebar.
“Loh,
kamu tidak sekolah Gun? Bukankah sekarang masih jam 11? Kamu bolos yaa. Dasar
kids zaman now, beda banget sama kids zaman old,” seperti biasa, selalu cerewet.
“Aku
tidak bolos loh bude, tadi sudah berangkat, tapi gerbangnya tertutup rapat,”
saurku santai.
“Selalu
saja ada alasan anak ini, tunggulah pasti kamu segera dipanggil guru BK,”
lanjutnya, “dulu, zamannya bude sekolah pada Orde Baru guru selalu
mengedepankan proses pembelajaran, setiap belajar di kelas pun ada mata
pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, jadi tujuan pendidikan tetap tertuju pada
pancasila. Lah kamu!”
“Iya
bude, kalau kata kakak, kita beda kurikulum,” imbasku dengan sedikit tertawa.
Rabu
di sekolah, ternyata benar surat panggilan dari guru BK melayang ke tangan ini.
Dua hal yang menyebabkan aku berada di posisi sekarang: 1) Bolos mata pelajaran
Matematika; 2) Bolos sekolah. Dan ada teman sekelas berkata, “Ibu Hayati
melihat kamu berbalik arah kemarin pagi, dan membolos sekolah.”
Siap-siap saja untuk esok hari memenuhi
panggilan guru tersabar di sekolah ini. Aku tak akan dibentak ataupun dihukum.
Hanya hadir, duduk, curhat, diberi minum, dan kembali belajar di kelas. Mudah
dan tentunya tidak berat, siapa yang berkata ruang BK adalah tempat menakutkan?
Kata siapa guru BK selalu kejam? Sama sekali tidak bagiku.
Benar dugaanku di Kamis pagi yang untuk sebagian
orang menegangkan, tapi lain dengan diriku. Datang labih awal adalah rencana sejak
diterima surat panggilan oleh guru BK kepadaku. Jadi lakukan sesuai rencana,
jam 06.40 WIB sudah sampai di sekolah. Ini merupakan prestasi dan rekor
tercepatku karena tidak mepet masuk sekolah.
“Assalamualaikum bu Hayati.”
“Waalaikumsalam Guntur, silakan masuk,” senyum
hangat terpancar dari wajahnya, seorang diri di ruang berukuran 4 x 3 meter
beliau sibuk dengan gadgetnya.
“Iya bu,” kubalas dengan senyuman agak manis.
“Silakan duduk nak,” sejenak hening “bagaimana
kabarmu hari ini?”
“Alhamdulillah baik bu.”
“Kamu tahu nak kenapa kurikulum sekolah
berganti setiap masanya?”
“Yang saya tahu hanya ada perbedaan kurikulum
antara zaman saya, kakak saya, dan bude saya bu, karena mereka berkata seperti
itu.”
“Ya, benar Guntur. Bahkan pada saat ibu
bersekolah pun berbeda kurikulum dengan kamu, kakakmu, dan budemu. Saat itu
kurikulumnya disebut dengan Kurikulum 1984, mulai pada tahun ini siswa
diletakkan sebagai subjek belajar, jadi cara belajar siswa yang aktif menjadi
target. Perubahan dilakukan dan disesuaikan dengan keadaan sosial, politik,
agama, budaya, teknologi dan kehidupan global agar pembelajaran berhasil maksimal.”
Pembicaraan kami lumayan lama, tidak
membosankan tetapi menambah pengetahuan.
***
Akhirnya bertemu dengan Sabtu lagi, waktu
untuk bergembira. Santai, main, tidur, makan. 4 kata ini bisa juga dijadikan
“Motto Sabtuku”. Sepertinya keren. Sekitar jam 06.30 WIB ibu menyuruhku
membawakan freshcare untuk nenek, katanya kemarin siang minta untuk diantarkan
minyak hangat dengan aroma terapi. Kuambil minyak itu di toko rumah dan segera
memanaskan motor.
“Sekalian bawa roti dan susu untuk sarapan
kakek!” perintah ibu padaku.
Hanya 5 menit perjalanan sudah sampai di depan
rumah nenek, memang jarak antara rumah kami sekitar setengah kilometer, jadi
maklum sangat sebentar. Kumatikan mesin motor,
membawa pesanan dan kunci motor, lalu ke dalam rumah. Sedikit banyak
mengobrol dengan kakek-nenek terasa hidup di zaman Indonesia baru
memproklamasikan kemerdekan tahun 1945.
“Dahulu, saat kakek sekolah kalau tidak salah
tahun 1947 itu baru ada kurikulum pertama di Endonesia, dan Belanda menyebutnya
“Leer Plan”. Tidak seperti zaman sekarang, saat itu tujuan politik dalam
pendidikan sangat kuat.” cerita kakek.
Aku jadi terpikir perkataan kakak, bude Atna,
dan bu Hayati kemarin lalu. Selama seminggu ini secara garis besar tema
pengetahuan baruku adalah kurikulum. Setiap masa memiliki sistem pendidikan
berbeda. Masing-masing kurikulum memiliki peran memperbaiki pendidikan di
Indonesia. Dan untuk apa yang aku alami, yaitu K13 (Kurikulum 2013) mungkin
memang terbaik untuk mengelola anak-anak sepertiku, anak yang teramat aktif, kreatif,
dan inovatif.
Komentar
Posting Komentar